WAKIL DIREKTUR ADM & KEUANGAN RSHI
SEBELUM pelaksanaan Pesta Danau Toba tanggal 13-16 Juni 2008 dalam waktu dekat ini, sempatkan dulu singgah ke terminal penyeberangan feri di Ajibata. Bila Anda tiba di
Sang tauke yakni Sinaga dibantu oleh istrinya yang boru Manurung dan Tondong/Hula-hula-nya yakni saudara laki-laki istrinya serta Tulang-nya yakni sepupu bapak mertuanya. Setiap hari mereka mengumpulkan rata-rata 10 ton ikan untuk dikirim ke Pematangsiantar,
Mereka telah menjalani bisnis ini
Ikan segar mereka ditampung oleh pedagang di
Ikan kelas dua (yang sebagian sisiknya sudah lepas atau perutnya pecah) dipisahkan untuk diasinkan. Harga jual ikan asin ini di
Bisnis inilah yang menghidupi keluarga Sinaga/boru Manurung
Memberi Ikan secara Benar
PASCA pengumuman kenaikan harga BBM tanggal 24 Mei 2008 yang baru lalu, Anda tentunya kerap membaca ungkapan-ungkapan “diberi ikan” (bantuan perlindungan sosial rumah tangga miskin), “diajari memancing” (pemberdayaan masyarakat), dan “dibantu untuk punya pancing dan perahu sendiri” (penguatan usaha mikro dan kecil) yang merupakan “3 program sistematis dan simultan untuk masyarakat miskin” yang diperkenalkan oleh pemerintahan SBY-JK. Ketika penulis menanyakan apakah tauke Sinaga pernah membaca atau mengetahui program ini, dia dengan jujur mengatakan bahwa dia tidak sempat membaca koran. Paling-paling dia hanya sempat nonton tivi bila ikan-ikan sudah diberangkatkan. Setelah melihat Pak Kwik Kian Gie dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada alasan pemerintahan SBY-JK menaikkan kembali harga BBM, dia menyatakan kekagumannya terhadap ketajaman analisis Kwik.
Tauke Sinaga tetap tidak bisa mengerti mengapa pemerintahan SBY-JK harus menaikkan harga BBM sekali lagi. Dia malah lebih bisa menerima cara Megawati memimpin bangsa ini. Setelah prahara virus ikan emas, Megawati menyumbangkan bibit ikan perak dan itulah yang ditaburkan di danau Toba. Sekali ini “diberi ikan” bukan berarti diberi uang dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT), melainkan benar-benar diberi ikan (bibit). Semua bekerja untuk itu dan hidup dari situ: nelayan menjala ikan; pengumpul menampung, menyortir, mengemas, dan mengirimkannya untuk dijual ke Pematangsiantar, Medan, Padang, Batam, Tanjungpinang, atau Jakarta; penduduk yang lain mengasinkannya; serta pengusaha transpor mengangkutnya dengan tronton. Semua dapat untung dan kena efek menetes ke bawah (trickle-down effect).
Tak heran jika boru Manurung – sambil tertawa lepas – menjawab, bahwa partai ikan perak itu sendiri pun adalah PDI Perjuangan. Itu dikatakannya ketika penulis menggodanya dengan bertanya apa kira-kira partai politik dari ikan-ikan itu? Selanjutnya dia menginformasikan, bahwa paling tidak di Kabupaten Toba dan Simalungun di mana sebagian masyarakatnya adalah nelayan ikan perak itu, masyarakat memilih pasangan Triben (Tritamtomo-Benny Pasaribu) dalam Pilgubsu 16 April 2008 lalu. Masyarakat sini lebih memilih Triben yang dicalonkan PDI Perjuangan, karena mengingat jasa Megawati yang telah memberi penghidupan dan kehidupan melalui ikan perak. Mereka agak skeptis atas pembagian BLT, apalagi datanya tidak up-to-date, karena masih menggunakan data tiga tahun lalu. Mereka jelas tidak memilih RE Siahaan yang notabene adalah orang Toba bersama wakilnya Suherdi, karena menurut mereka, kesamaan suku/marga tidak cukup lagi untuk saat ini, melainkan siapa yang bisa memberi kehidupan.
Saran untuk Pemda
SEMBARI menyortir ikan, boru Manurung mengungkapkan harapan dan uneg-unegnya. Dia menyatakan bahwa pemasaran ikan perak masih kurang, karena dalam beberapa kesempatan, ikan-ikan mereka tak terserap pasar atau kelebihan pasokan (excess supply), sehingga sampai busuk. Alangkah bijaksananya jika pemerintah Kabupaten Toba dan Kabupaten Simalungun secara sinergis memfasilitasi usaha pengolahan kerupuk ikan, pengolahan pakan ternak atau pupuk berbahan ikan sisa, peningkatan kemampuan pemasaran bagi pelaku bisnis ini, dll.
Sering terjadi bahwa Pemda tidak jeli melihat dan tidak getol mencari tahu potensi masyarakat setempat yang bisa dikembangkan dengan mudah dan dengan segera untuk menggerakkan roda perekonomian. Perencanaan pembangunan lebih sering bersifat top-down, bukan bottom-up, sehingga tidak berangkat dari kondisi riil di lapangan.